Senin, 24 Maret 2008

Kritik Apa Yang manis ?

Menghabiskan libur panjang bersama teman teman setelah kesempatan menjadi berharga karena mereka sibuk. Salah satu dari salah empat teman berdiskusi adalah Buhpy. Dia nyetir mobil selama 8 jam dari Bandung-Jakarta via Cipularang pada 19 Maret 2008. Berkendara dimulai jam 21.00. Harapannya mudah-mudahan jalan sudah tidak macet, kalo padat ya dimaklum saja. Berharap kita bisa berkumpul 20 Maret, masing-masing akhirnya menghabiskan waktu untuk tidur. Seperti membayar hutang yang harus dibayar.
Akhirnya, 22 Maret 2008 kita bisa berkumpul di sebuah tempat di Dago yang bernuansa temaram, tapi cenderung gelap karena sumber cahaya hanya berasal dari lilin gelas yang dinyalakan di setiap meja.Obrolan dimulai denagn membahas ramainya orang dari Jakarta datang ke Bandung. Pembahasan soal kemacetan, tips menghindari padatnya jalan dengan mengambil jalan alternative, dll. Kemudian obrolan pekerjaan juga dibahas, sampai akhirnya pengalaman–pengalman pribadi yang berkesan dalam satu bulan terakhir.
Salah satu yang panas menjadi bahan pembicaraan adalah pengalaman Buhpy sebagai seorang editor yang beberapa minggu lalu berada dalam situasi yang dipenuhi kritik cenderung caci-maki di sebuah diskusi buku yang dihadiri oleh beberapa editor dari Gagas Media. Diskusi nya yang diadakan di Tobucil Bandung, sebuah tempat yang kecil namun menampung luasnya isi pengetahuan dari berbagai buku, tapi entah bagaimana menurut Buhpy sore itu tempat tersebut begitu “panas” karena adanya kritikan yang datang dari mereka yang menyebut dirinya “oposan” dari penjaga gawang produksi buku-buku Gagas Media.

Salah satu kutipan yang masih saya ingat dari Buhpy kurang lebih seperti ini
“Dimanakah intelektualitas editor Gagas Media diletakan dalam menerbitkan sebuah buku”
Saya kemudian berpikir, apa tidak ada cara yang lebih baik dipilih untuk menyampaikan isi intelektualitas sang kkritikus?

Mudah-mudahan keberadaan orang diatas bisa dihargai dalam bentuk apapun, karena tidak adanya penghargaan khusus untu seorang kritik. Seperti The Pulitzer Prize for Criticism yang sudah diberikan sejak 1970 untuk mereka yang memasuki kriteria berikut :
a newspaper writer who has demonstrated 'distinguished criticism'. Recipients of the award are chosen by an independent board and officially administered by Columbia University

Minggu siang, minggu yang lalu, seperti biasa saya bangun siang, menyalakan TV sambil menonton Cinta Laura yang tidak senang memakai make up, dilanjutkan dengan program berita ringan seputar tempat makan dan tempat wisata. Salah satu yang saya tunggu adalah program Potret, sebuah program bertajuk Bentang Ragam Budaya Indonesia. Topik yang dipilih adalah Fenomena film Ayat Ayat Cinta -mengutip dari Warta Kota 23 Maret 2008, film ini menembus angka 3 juta penonton.
Dalam program acaranya, kelebihan-kelebihan film ini, terutama tema yang dipilih dan laku-kerasnya buku yang dijadikan adapatasi cerita film Ayat Ayat Cinta semuanya diceritakan.
Tidak ketinggalan kritikus film juga diberi porsi dalam acara ini. Salah satu kritikus film yang dijadikan nara sumber adalah Eric Sasono (praktisi, penulis & kontributor di www.rumahfilm.org) Dia mengatakan kurang tepatnya adalah tokoh utamanya Fahri sangat to good to be true.Perjuangan yang dilakukan Fahri hanya memperjuangkan dirinya sendiri untuk istri-istri cantik dan salah satunya istri kaya. Film ini kembali menhadirkan sebuah mimpi. Bagian ini kemudian ditutup oleh narrator yang menyebutkan Kritik untuk sebuah pembelajaran harus terus bergulir.

Saya kemudian berpikir, saya menyetujui sebagian atas apa yang dikritik dan bagian saya yang tidak setuju tidak membuat saya kesal dengan kritikusnya

Menambah tulisan ini, saya teringat pada salah satu mata kuliah saya yaitu Media Literacy dan Construction of Reality, How to read a Movie. Dalam kedua sesi kuliah seminat tadi akhirnya terdapat dua kubu yaitu analisis pada studi budaya dan analisis ekonomi politik.
Saya berpihak pada analisis studi budaya, karena saya bisa berpikir kemudian menjelaskan pemikiran dengan berpijak pada perkembangan pengalaman sejarah. Ketika horror dan cinta menjadi tema yang banya dipilih oleh produsen buku dan film, alasan yang saya bisa kemukakan, karena 2 hal itulah menjadi bagian keseharian dalam kehidupan. Sementara banyak orang mencaci maki film-film seperti ini. Saya pastikan mereka juga masih percaya klenik yang sudah mendarah daging dalam identitas dirinya.
Mengutip pendapat DR.Seno Gumira A dalam kuliah seminar diatas, keberadaan tema-tema seperti itu merangsang masyarakat untuk menciptakan sesuatu yang baru, karena masyarakat juga punya penilaian masing-masing. Misalkan dari 3 juta penonton mencintai dan menangisi film Ayat Ayat Cinta, masih terdapat masyarakat yang juga mau menonton film Lari Dari Blora. Ketika cinta dan horror berjaya, muncul tema komedi yang sekarang banyak diadikan tema film. Saya merasa masih akan banyak orang-orang yang berkorban untuk memproduksi buku dan film yang beraneka ragam demi perkembangan budaya. Jadi bila saya tidak suka dengan film atau buku karena rumah produksi dan penerbit hanya membuat bertema itu itu saja, jangan sedih karena dipastikan ada rumah produksi dan penerbit yang akan menghasilkan tema-tema yang membuat semakin beragam.

I'm Stopping TB

Senin pagi dimulai dengan ritual yang salah satunya adalah membuka www.detik.com. Artikel yang muncul pertama saya lihat adalah “I’m stopping TB” di hari TB. 24 Mei ini diperingati sebagai hari Tuberkulosis Sedunia. Dan judul artikel diatas adalah tema yang digaungkannya.Tuberkolosis adalah penyakit yang pernah hinggap di paru paru saya. Tepatnya awal 2004 saya didiagnosa mengidap penyakit yang disebabkan Mycobacterium Tuberculosis. Awalnya saya batuk yang tidak kunjung sembuh, karena kunjung lebih tepat digunakan pada kata keluarga, seperti kunjung pada kunjungan keluarga. Batuk saya tidak parah, hanya sekedar batuk yang tidak membabi buta suaranya. Obat batuk eceran sudah tidak mempan, padahal setiap hari saya menikmati perjalnan dengan naek motor di Bandung cuacanya sedang sejuk di awal tahun.

Sampai akhirnya saya menyerahkan diri untuk diperiksa di rumah sakit langganan tanpa sepengetahuan ibu saya. Alhasil dokter menyarankan saya untuk di photo roentgen. Setelah selesai diphoto, saya kembali ke ruangan Dr. Teguh, Spesialis Paru Paru. Ringkasnya, sambil tersenyum dia bilang , “ ini nih penyakit aneh! Padahal batuk kamu gak parah, kamu kena TBC”. Seperti biasa saya mencoba mengerti dengan diam seperti biasa, kemudian saya bilang “ heh TBC” .
Dalam hati saya berpikir, siapa penyebar kuman nya, padahal saya tidak pernah mencium mereka-mereka yang kotor…wek. Dokter kemudian menjelaskan, itulah TBC sekarang. Bisa menyerang siapa saja! Kasus yang saya alami cukup unik. Penjelasan ini juga diselangi dengan pertanyaan calon dokter yang menemani dan berkesan wannaknow dengan tidak lupa mencatat semua penjelasannya. Kemudian saya menceritakan gejala yang saya alami dengan tidak pernah batuk yang membabi buta itu tadi, tapi berat badan saya memang turun sekitar 5 kilo dalam 2 bulan.
Terakhir Dr.Teguh meyakinkan saya, bahwa salah satu penyebab saya terkena TBC adalah ketahanan tubuh saya menurun karena saya stress. Tepat pada sasaran !!! Banyak pikiran yang iya-iya terutama soal patah hati dan cinta. Stress membuat kuman TBC bergerak leluasa di dalam tubuh, karena kuman ini saat ini berevolusi dengan lingkungan sehingga mereka bisa berkeliaran dimana saja. Meskipun media penyebaran utamanya lewat air liur.

Peringatan pertama Dr.Teguh adalah jangan sedih. Itulah obat paling mujarab!! Jangan dipikiran, mendingan pikiirin TBC nya cepet sembuh. Think Opposite & Think Positive.

Selanjutnya saya harus meberitahukan siapapun yang saya cium untuk segera dites TBC!

Menyusul semua alat makan saya di rumah harus steril dan tidak boleh dipergunakan oleh orang lain. Tidak boleh berbagi minuman dan makan dengan orang lain membuat orang lain berpikir saya kikir. Minum obat anti kuman TBC sebanyak 50 pil perhari. Inilah bagian paling melelahkan, tidak mudah minum pil sekali tengak 10 pil.
Awalnya perut saya menolak disusupi pil dengan memuntahkan kembali. Kembali ke peringatan pertama diatas, memang itulah obat paling mujarab. Di tengah Ibu saya yang sedih dan terus berpikir kok bisa anaknya TBC, padahal di rumah dia tidak pernah ketinggalan beberesih. Saya berusaha tampil semangat kapan pun. Tidak boleh ada yang tahu saya TBC. Penyakit yang amsih dianggap memalukan di era 80-an sampai sekarang tidak membuat saya urung meaktualisasikan segala hal yang saya bisa.

Di saat yang bersamaan saya berkesempatan mengunjungi beberapa kota yaitu Medan, Riau, Padang, Lampung, Balikpapan, Makasar, Lombok, Bali, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Cirebon. Isi tas punggung saya bertambah berat karena harus membawa botol pil yang jumlahnya sekitar 1000an dan alat makan. Perjalanan ini membawa saya semakin semangat, meskipun bikin cape apalagi setelah minum obat yang sehari 3-5 kali/ hari membuat semakin lemas. Beruntung perjalanan ini membuat saya sedikit lupa dengan kuman kuman yang masih berkeliaran di paru-paru saya.
Memasuki bulan kedua di tengah perjalanan, saya harus diphoto rontgen untuk melihat perkembangan kuman-kuman TBC nya, apakah mereka tetap berkembang biak, atau sebaliknya. Alhmadulillah, kabut yang menandai teritori kuman di photo paru-paru saya mulai sedikit berkurang. Dr.Teguh memberikan target 3 bulan agar saya bisa bebas TBC. Saya hanya bisa senyum senyum miris, karena minum obat hanya berkurang sedikit dosisnya.

Memasuki bulan kedua, saya kemudian membuat strategi baru menghadapi kuman-kuman TBC ini. Kenapa sya benci sama kuman-kuman ini. Mereka memang tamu tak diundang di paru-paru saya, tapi mereka datang karena saya yang membuka pintu masuk yang adalah ketahanan tubuh saya yang loyo. Saya mencoba berkenalan dengan kuman-kuman yang ditemukan oleh oleh Dr Robert Koch, pada tahun 1882.

Setiap saya bangun pagi sebelum minum pil saya menyapa kuman-kuman ini. Bagiamana tidurnya? Banyak kah kuman yang mati? Saatnya kalian menikmati pil yang segera akan dimunim yah !! Ayo jangan makin banyak yah kuman-kumannya, kalos edikit sih boleh, asal jangan bikin susah. Itulah percakapan searah saya dengan kuman kuman TBC. Begitu pun sebelum tidur, saya melakukannya. Rutinitas itu menjadi sebuah hiburan sendiri buat saya. Sebuah pilihan yang saya lakukan hanya untuk sembuh dalam 3 bulan dan bebas TBC dalam 6 bulan. Meskipun patah hati tetap belum bisa diperbaiki, saya berusaha mencangkoknya agar patahnya tidak terlalu tajam karena saya harus mendahulukan prosesi pelepasan kuman-kuman TBC dari paru-paru saya.

Dikutip dari
www.detik.com bahwa TBC masih menjadi epidemic di Indonesia. Penyakit ini tidak mengenal siapa yang akan dihingapi kuman-kuman TBC, aplagi mereka yang merasa jauh dengan penyebaran kuman-kuman ini yang dipikirnya hanya hinggap di tempat kotor dan mereka yang miskin semata. Pengalaman saya mengajarkan saya kemungkinan besar menghindari mereka yang terkena TBC adalah kurang tepat. Rasa takut ditulari wajar saja muncul, tapi yang terpenting menjaga ketahan tubuh yang utama.

Alhamdulillah saya akhirnya sembuh dari TBC dalam 3 bulan dan kemudian diteruskan dengan memeriksa setiap bulan berikutnya dan akhirnya saya bebas TBC dalam 6 bulan. Dorongan semangat dari sekitar juga sangat diperlukan untuk membuat mereka yang menderita TBC sekaligus hidup dalam kekuranagn bisa sembuh. Terlalu mudah mati berkuasa di Indonesia karena penyakit ini. Kurangnya akses mendapatkan obat salah satu alasannya. Ayo kita bantu dengan membuat mudah semuanya dan mewujudkan I'm Stopping TB

Senin, 17 Maret 2008

Semangat si Minoritas !!

Tajuk berita minggu II Maret 2008 salah satunya ramai memberitakan protes masyarakat Tibet di Lhasa. Sekitar seratus orang meningal. Demonstran yang dimotori oleh biksu yang menggalang semangat kemerdekaan Tibet, sekaligus bertepatan dengan “pemberontakan” pada Maret 1959, yang membuat pemimpin spirituan Tibet dalai lama, mengungsi ke Dharamsala, India.( sumber : Kompas 16 Maret 2008)



Tibet mampu menjadi magnet spiritual bagi masyarakat di Barat. Keindahan Tibet sebagai “atap dunia” juga menarik hati banyak petualang, baik luxurious adventurer dan backpacker.

China sebagai etnis mayoritas, menjadikan etinis Tibet sebagai minoritas. Kekuasaan yang begitu besar membuat etnis Tibet merasa terkekang dengan keberadaan China . Namun selama lebih dari 50 tahun Tibet mampu bertahan dan menata diri





Semangat apa yang membuat itu terjadi….apakah karena mereka minoritas ?



Sebelum saya sempat membaca Kompas untuk mendapat keterangan diatas, pagi hari saya harus berangkat ke Serpong jam 7 pagi untuk meliput acara syukuran pembukaan sekolah. Saya terlambat sampai di tempat acaranya, dengan kebingungan sambil bertanya tanya, sebenarnya sekolah macam apa yang dibuka.



Sambil berusaha membelalakan mata, saya membaca bulletin sekolah edisi pertama yang dibagikan di meja penerima tamu. Sekolah yang dibuka adalah sekolah yang berbasis pendidikan nasional yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia, Mandarin, dan Inggris. Nama sekolahnya adalah Pahoa.



Sekolah Pahoa sudah berumur 107 tahun. Pembukaan sekolah ini juga diramaikan dengan temu alumni. Aki-aki dan nini-ni berkeliaran dengan semangat. Usianya ada yang sampai 80 tahun lebih. Itu mungkin karena rahasia obat China ,selain gaya hidup mereka yang sehat.



Saya tidak terlalu semangat melanjutkan membaca bulletin yang banyak dihiasi huruf kanji, alasannya ngantuk karena saya baru tidur satu jam. Acara terus berlanjut sampai pada bagian paling membosankan, PIDATO SAMBUTAN …… phuihhhh



Dengan badan yang kurang cairan dan tidak bersemangat saya berusaha mendengarkan sambil curi curi tidur, tapi reaksi yang timbul adalah saya menjadi begitu semangat mendengarkan isi pidatonya yang sangat mengharukan.



Sekolah Pahoa yang dibuka ini adalah renewal dari sekolah Pahoa yang sudah mati suri selama 40 tahun. Inisiatif dan kerjasama dari alumni sekolah Pahoa yang membuat sekolah ini kembali ada.



Sekolah ini mengalami mati suri, alasan utama adalah keterkaitan sekolah Pahoa dengan etnis Cina sangat melekat. Sejarah membuktikan apa yang dialami etnis minoritas di Indonesia ini. Sambil saya mendengarkan pidato, saya kembali membaca bulletinnya, dan inilah data yang saya dapatkan :

1.Tahun 1942, ketika Bala Tentara Jepang menduduki Indonesia, sekolah Pahoa di jl.Perniagaan – Kota ditutup untuk beberapa waktu, namun atas perjuangan kepala sekolah dan guru-guru akhirnya sekolah kembali bisa dibuka , namun hanya untuk sekolah dasar.



2.Desember 1957, karena pelaksanaan peraturan larangan murid-murid WNI dan dwinegara bersekolah di sekolah asing terjadi ketimpangan-ketimpangan yang amat tidak adil, sehingga gedung sekolah Pahoa seluruhnya diserahkan kepada Sekolah Swasta Nasional Pendidikan dan dan Pengadjaran, akibatnya sekolah Pahoa beserta guru dan muridnya akan kehilangan gedung untuk melanjutkan proses belajar. Namun akhirnya, sekolah Pahoa dipindahtempatkan di sebuah gedung di jl.Blandongan no.37.



3.Perubahan besar-besaran pada tahun 1965-1966, akibat G-30-S, baik sekolah Sekolah Swasta Nasional JPP maupun sekolah Pahoa keduanya disita dan tidak diketahui apa sebabnya, Akhirnya pada 6 April 1966, sekolah Pahoa ditutup.



Kembali ke soal pidato Pahoa yang menggebu-gebu. Beberapa perwakilan alumni dan pengagas sekolah Pahoa yang baru menyerukan kebahagiaan akan almamater mereka yang akhirnya bisa kembali hadir untuk bisa mendidik generasi selanjutnya.



Semangat apa yang membuat itu terjadi….apakah karena mereka minoritas ?


Saya berpikir dan satu botol air minum mineral saya tenggak dalam dua kali tarikan, sebuah semangat yang bisa dilakukan si minoritas atau mayoritas.

Senin, 10 Maret 2008

Konser Awal Tahun 2008

3. Java Jazz

“Udah lah Ben, ikut aja !! Daripada nanti mereka keburu mati, kan nyesel gak nonton taun ini, kayak James Brown ?” tukas Mba Uci KSP/ Café Halaman.
Itulah quote yang sedikit membuat saya mau menonton perhelatan (biar nampak akbar) Jazz terbesar di dunia-tagline itu disebut berulang ulang kali oleh MC panggung disana.

Alhamdulillah saya mendapat tiket gratis dari teman teman yang berbaik hati membagikannya.
Jumat, 7 Maret saya mempersiapkan untuk menonton Matt Bianco, Renee Olstead & Ron King Big Band, Andezz, Pandji Pragiwaksono ( Hip Hop Indo Special Project). Keterbatasan ini saya harus tanggung karena saya baru bisa datang jam 5 sore.

Hari pertama, saya berencana datang bersama Kiki, sahabat saya yang bersemangat menikmati musik2 di Java Jazz – berhubung dia penyanyi dan aktris pendukung di acara Tukul Trans 7. Alhasil saya datang jam setengah 7 karena Kiki salah membawa amplop yang berisi tiket konser. Kita harus kembali ke daerah Mampang, padahal kita sudah berada di Senayan. Untungnya saya tidak terlalu bersemangat, kejadian itu tidak membuat saya kesal tak kepuguhan. Lain soal kalo kita berdua bersemangat, pasti dia akan saya bikin kesel sepanjang perjalanan. Meskipun long weekend, jalan-jalan tetap saja padat. Sambil curhat di dalam taksi, tak terasa kita sudah sampai kembali ke Senayan.

Pangung pertama yang saya datangi adalah Femina Lounge, karena saya harus bertemu dengan Claudia Lengkey. Tempatnya sangat nyaman, lengkap dengan pelayanan gratis foot acupressure, facial, dll. Sebelum keluar lounge, saya dibekalli sekotak donut dan 1 botol Aqua. Seperti keluar dari hajatan kampung yang dibekali nasi besek.

Kemudian saya melanjutkan ke Medco Stage karena Renee Olstead & Ron King Big Band akan manggung. Sesampainya, Phuhhhhh penonton penuh sesak, akhirnya saya memilih mendengarkan tepat di pintu gerbang, dan hanya bisa melihat kepala Gadis Yang Insya Allah akan 20 Tahun itu. Sepertinya animo penonton kurang seimbang dengan kapasitas ruangannya. Saya hanya bertahan 10 menit. Meskipun saya tidak hapal cangkem lagu lagunya. Tapi saya sudah berniat mendengarkan presentasi pertunjukan musik mereka.

Saya menlanjutkan pencarian ke Cendrawasih Room tempat Andezz akan manggung. Sepanjang lobby, saya bertemu teman teman yang semangat dan ramah untuk tetap menyapa, meskipun membuat traffic tersendat. Ditambah dengan booth sponsor yang mengahalangi traffic.
Saya memutuskan untuk berdiri mendekati panggung karena Andezz menghadirkan konsep Departure People dengan seragam Pilot & Pramugari ditambah Big Girl Backing Vocal Choir. MenariK!!

Tapi soundsystem kurang mendukung. Sayang sekali. Tapi saya bisa memaklumi, meskipun musik yang dibawakan Andezz akan sangat menghentak apabila didukung dengan soundsytem & lighting yang pas.

Sambil menunggu di panggung yang sama penampilan Panji Pragiwaksono yang mengeluarakn album Maret ini, saya merokok di sekitar luar panggung yang terasa sangat dingin sambil ngobrol dengan topic:

Gaya apa yang paling banyak dipilih yang nonton Java Jazz tahun ini:

Pilihan A. Motif kotak kotak.

Pilihan B. Batik

Untuk Batik, sepertinya Bang Edo Hutabarat- yang juga hadir menonton, harus diberikan penghargaan oleh Java Jazz, karena mampu membuat Batik menjadi sangat melesap dalam konser bernuansa musik ini.

Long Live Bang Edo !!

Akhirnya Panji P Manggung juga….alhasil begitulah !! lagi lagi soundsytem nya kurang mendukung. Padahal session ini sangat penuh semangat.

Kesal dengan ketiga penampilan yang kurang didukung oleh soundsystem yang kurang, akhirnya saya memutuskan pulang dan melanjutkan ke Misch Masch “ Booty Bass Edition”. Semangat & berhasil membuat saya bisa menikmati musik dengan hentakan dan soundsystem yang berakhir memuaskan.

Hari kedua, saya berniat menonton Jody Watley, The Manhattan Transfer, Maysa Leak, Bobby Caldwell. Kenyataannya saya baru bisa datang jam 8malam, Jody watley pun terleatkan…………Bingung kemudian, karena prioritas hari itu menonton penyanyi All begins with you.

Saya akhirnya menonton Manhattan Transfer. Berharap bisa terhibur. Yang ada saya kecewa dengan soundsystem. Daripada kepalang kesal, saya, Kiki & Mba Uci mencoba menikmati suara kakek-nenek yang seadanya dari tribun. Saya tak mau kalah saing dengan kualitas sound system yang sepertinya terbiasa mereka gunakan untuk tempat pertunjukan kecil bukan seukuran plenary JCC.

Saya menutup mata saya, meskipun kelopak mata tetap terbelalak.
Kembali ke era 90an, saya mendengarkan radio Kontinental 107,2 di Bandung sekitar jam 2 siang. Nikmatnya mendengarkan Tim Hauser, Janies Siegel,Cheryl Bentyne dan Alan Paul.
Suara radio mono tapi tetap meghibur. Terkadang keterbatasan membuat kekurangan menjadi bagian keindahan atau kemerduan.
Begitulah saya mencoba menikmati konser kelompok yang telah memenangkan 10 Grammy.

Berikut playlist
Manhattan Transfer
1.Birdland  Terdengar sayup sayup
2.On Boulevard  masih sama dengan atas
3.Hear The Voices Sedikit membaik
4.Route '66  Lumayan,stagnan perbaikan soundsystemnya sampai lagu ke 12
5.Candy
6.Java Jive
7.New Juju Man (Tutu)
8.Smile Again
9.Soulfood To Go
10.Boys From New York City
11.Twilight Zone/Twilight Tone
12.Tuxedo Junction

Rasa kecewa tidak membuat saya menghentikan perjalanan berikutnya menonton Bobby Caldwell. Berusaha positif, Kakek ini juga akan tampil memukau dengan suara khas, tuxedo, topi, dan poni lemparnya.

Diperlukan mengantri selama 1 setengah jam, mulaid ari jam 11 malam kurang, sampai kira-kira saya sudah malas melihat jam. Saya bersyukur tidak bearada diantrian penonton yang craving for BC. Mereka harus berkorban begitu lama. Kasian ibu-ibu atau tante-tante yang mengantri. Saya masih bias selonjoran bersender ke dinding tembok, sambil ngemil. Mereka yang berdiri, saya yakini pulang harus tidur dengan posisi kakai diganjal bantal dan lebih tinggi dari kepala.Yang terburuk mungkin parises.

Pintu dibuka, hanya perlu 5 lagu saya bertahan. Sound systemnya, bagus lah- ini sudah di upgrade penilainya karena sebenarnya ya gitu deh adanya !!

Heart Of Mine, Real Thing, What You Won’t Do For Love, hits radio yang dinyanyikan bersama penonton dengan suara BC yang sudah terengah engah dan sering berhenti di tengah kalimat.
Yang sempurna hanyalah kostum tuxedo dan poni lemparnya.

Pulang yoK!
Itulah saya, kurang mengerti musik Jazz – hanya sekedar. Tapi saya merasa yakin berhak menikmati pertunjukan dengan soundsystem baik meskipun saya gratis menontonnya.

Saya ingin meyakinkan pendengaran saya ini apakah hanyalah masalah pribadi atau media juga memberitakan hal yang sama untuk literasi pembacanya.
Alhasil, hampir semua media tidak memberitakan bahwa soundsytem pertunjukan sangat kurang. Semuanya lebih membahas kepiawaian kakek-nenek ini dalam menampilkan komposisi suara. Mungkin alasan yang paling bias diterima adalah karena salah saya duduk di tribun dengan tiket gratis selama tiga hari, dan kurang menghargai pentingnya berada di paling depan panggung. Alhamdulillah lah, sudah bias wara-wiri eksis di Java Jazz.

Hari ketiga, saya memutuskan di rumah saja. Batal menuju Java Jazz karena kurang siap mental dan kesehatan fisik menurun karenanya. Bubye Fatso Babyface !

Konser Awal Tahun 2008

2. Incubus
Band yang dulu saya kenal pertama kali dari band Marcell terdahulu, Experimental Jetset yang sering membawakan lagu Incubus dari album Enjoy Incubus dan SCIENCE, tapi band ini belum matil buat banyak pendengar. Tidak banyak yang tahu betapa kharismatiknya Brandon Boyd. Sampai akhirnya meletek di tahun 2000 dengan album Make Yourself.

Di konsernya, Saya hanya bisa mendengar 3, 5 lagu terakhir dari band asal Calabasas, California, yaitu Megalomaniacs di akhir akhir lagu, kemudian Stellar, Circles, Aqueaus Trans.
Macet menjadi alasan utama. Saya menghabiskan waktu 2 jam lebih dari Salemba ke Senayan. Entah kenapa, tapi macet ini bersamaan dengan 40 hari wafatnya Pak Harto.

Berusaha tetap bersyukur, karena bisa melihat seperti apa mereka. Band yang memiliki kesan mendalam karena saya merasa menemukan mereka dengan hits I Miss You dari album Make Yourself. Meskipun single resmi mereka yang dirilis sekitar October 1999 adalah Drive, kemudian Stellar.
Berawal dari penasaran dengan album mereka yang pada saat itu masih diimport.
Pertama kali didengarkan di library kecil Hard Rock FM Jakarta. Disebelah saya ada Meita Kasim, Music Director Hard Rock FM tahun 2000an awal.
Karena saya sedang training untuk jadi Music Director di Bandung.
Tiba tiba album ini sangat menarik didengar. Saya merasa albumnya sangat modern. Meskipun Drive sudah diputar di Jakarta & Bandung. Saya harus menemukan single berikutnya yang saya rasa lebih bias nyantol.
Tiba tiba looping intro I Miss You menaksir saya….

Seminggu kemudian saya nekat memasukan lagu tersebut saya jadikan playlist regular dengan durasi pemutaran 5x perhari.
Thk you for Mba Reina Wulandari & Mas Willy Priyoko)

Reaksi yang muncul adalah, penyiar sangat bosan mendengar lagu itu dalam seminggu. Tapi saya tetap teguh, bahwa inilah momen Incubus.
Keyakinan itulah yang membuat saya bisa tersenyum ketika mendengar single ini diputar di radio dimana pun dan kapan pun.
Sampai akhirnya semua album Incubus dirilis di pasaran secara resmi oleh Sony Music.

xOxO bOyD

BZ

Konser Awal Tahun 2008

Februari 2008 merupakan awal tahun yang baik buat penyelengaraan konser musik di Indonesia, meskipun konser musik underground mengalami kejadian buruk pada . Underground Berkabung, itulah yang menjadi tema yang diangkat oleh sekelompok penggerak muda di Bandung . Berselang kejadian tersebut, Rolling Stone Indonesia mengeluarkan edisi khusu berjudul : Petaka Pentas Musik Indonesia . Sebuah saluran dokumentasi yang baik, asal jangan sampai petaka musik dijadikan isu alihan untuk isu penting saat ini seperti pengangguran, korupsi, kejahatan, loyonya penegakan hukum, dll

Selanjutnya Februari – Maret 2008 menjadi ajang konser musisi idola saya dan konser musik salah satu ajang eksis pergaulan tahun ini. Saya urutkan dalan penomoran.

1.Bjork.
Dalam tulisan ini saya coba buktikan bahawa saya adalah salah satu penggemar setia penyanyi ini. Perasaan membuncah ketika mendengar dia akan dating ke Jakarta . Saya hanya bisa memastikan diri saya untuk tetap positif dia jadi dating. Bjork adalah satu satunya konser musik yang berhasil membuat saya membeli tiket seharga Rp. 600.000.
Saya sudah menyaipakan mental, apapun yang terjadi saya harus bersyukur. Dia adalah penyanyi wanita yang membuat saya tidak merasa aneh diantara teman teman saat SMA dan Grunge menggila
Meskipun internet belum hadir saat album pertamanya, tapi saya berusaha mencari tahu informasinya melalui majalah majalah backdated yang dijual di Cikapundung. Hal itu dilakukan karena saya belum mampu membeli majlah import baru. Pada saat itu pun saya hanya membeli kasetnya yang tidak pernah lepas dari Radiotape Sony (Compo).
Tepat 12 Februari, Saya tak perlu banyak persiapan untuk menonton konsernya. Yang terpenting handuk kecil, karena saya merasa saya akan menangis bahagia ketika Bjork menyanyi di salah satu lagunya. Saya yakin itu, meskipun tidak tahu di lagu yang mana.
Saya berangkat tepat pukul 4 sore di tengah Jakarta yang diguyur hujan. Seperti dapat diduga, macet mulai terjadi di beberapa titik, teritama Semanggi- Senayan. Beruntung ditemani Mas Tedjo yang dating dari Bandung 2 hari sebelumnya. Alhasil saya sampai pukul 5 sore, padahal biasanya saya ahnya perlu 15 menit ke Senayan.
Meskipun sedikit kesal karena dipastikan saya tidak akan menjadi pengantri pertama, tapi tetap berusaha semangat . Saya berdiri diantara sekitar 15 orang pertama di antrian. Kemudian, salah seorang sahabat saya, Piere dating bergabung. Alhamdulillah. Tak perlu kesal menunggu untuk konser ibu dari Sindri ini. Saya habiskan dengan mengeker mereka yang menonton konser. Mulai dari dandanan gembel bersendal jepit yang adalah gaya yang saya pilih, gaya hippies, bohemia, ectrified, theme shirts, sampai ada seorang perempuan muda bernama Tatis memakai gaun angsa Bjork tiruan di pesta Oscar. Sangat tidak membuat bosan menunggu. Sampai akhirnya jam 6an kita dperbolehkan masuk Tennis Indoor. Saya berdiri dibelakang Tatis yang tepat berada dibelakang barikade, 2 meter dari posisi centre panggung. Gosip! Adalah obat ampuh sambil menunggu, saya, Mas Tedjo, dan Piere berdiskusi mulai dari identitas, ekspolarsi musik, eksistensi, sambil hunting yang nonton konser, tidak ketinggalan topic seputar mantan yang kebetulan dating juga.

Akhirnya konser dimulai pukul sekitar 20.50. Seperti apakah konsernya?
Dari beberapa review konser di media massa , akhirnya saya memilih tulisan di majalah Gadis. Menurut saya, tulisannya sangat sederhana meskipun terdapat beberapa kekurangan data, dan tidak berlebihan, juga dekat dengan saya sebagai pembaca yang adalah bukan pembaca Gadis sama sekali.

I love the Innocence ( this is dedicated for Yani Lauwoie )

Aksi Spektakuler Bjork
By: Yani Lauwoie
Gaya unik dan eksentrik penyanyi asal Islandia, Bjoek bukan Cuma ‘isapan jempol’ ! Di konser Bjork “ the Tour yang dipromotori oleh Java Musikindo di tennis Indoor Senayan, Jakarta pada 12 Februari lalu, Gadis membuktikannya sebndiri!

Adaaa saja penampilan dan aksi panggungnya yang bisa bikin orang tercengang dan berkata, “ kok, bisa, ya, dia kepikiran itu?”

Tour yang dipromotori oleh Java Musikindo di Tennis Indoor Senayan, Jakarta pada 12 Februari lalu, Gadis membuktikannya sendiri! Adaaa saja penampilan dan aksi panggungnya yang bisa bikin orang tercengang dan berkata, “ kok bisa ya, dia kepikiran itu?”
Full Bendera Memasuki ruangan konser, mata penonton langsung disuguhi tatanan panggung yang ramai. Yap ! Dibandingkan denagn tata panggung musisi mancanegara yang sudah pernah menggelar konsernya di Indonesia, tata panggung konser Bjork malam itu terlihat lebih special dan sengaja banget dihiasi secara lebih khusus ! Banyak atribut bendera berwarna warni dengan gambar hewan-hewan seperti ikan dan burung yang dipajang sebagai hiasan. Ada yang diletakan sebagai background dan ada yang menempel di semacam tiang bendera yang terletak di kiri-kanan panggung. Belum selesai mata penonton menikmati tata panggung yang lumayan ramai itu, lampu tiba-tiba meredup, tanda pertunjukan dimulai. Lagi lagi penonton tercengang dengan suara suara instrument yang sayup sayup terdengar dilanjutkan dengan iringan Wonder Brass yang terdiri dari pemain terompet, Tuba, Mellophone,, dan alat tiup lainnya. Uniknya lagi, selain memakai kostum warna-warni dengan warna kuning sebagai warna dominan, para pemain intsrumen brass yang berada di kanan panggung, mengenakan bendera yang menempel di belakang tubuh mereka, lho. Benar-benar penuh bendera, deh !

Pelit Basa-basi

Bjork menyusul masuk ke panggung dan langsung bergerak gerak dengan lincah mengikuti irama musik. Tanpa basa-basi, Bjork menyanyikan Earth Intruders yang langsung disambung oleh Hunter. Di akhir lagu, kejutan datang lagi saat tiba tiba saja Bjork dari tangannya dikeluarkan properti panggungnya yang terbuat dari tali panjang. Mengikuti aliran musik yang ‘mistis’, Bjork seperti siap menyihir semua penonton dengan aktingnya ini. Abis, gaya membuka telapak tangannya itu kayak gaya penyihir yangs edang mengucapkan mantra, soh !! Wuzzz…. Atraksi tak terduga seperti, memang salah satu yang bsia diharapkan dari tiap performance-nya. Lepas dari atraksi tali, Bjork melanjutkan dengan single Unravel, All Is Full Love, dan Joga. Sampai lagu keenamnya, nggak ada kata kata yang keluar dari bibir Bjork. Cuma kata, Thank you, yang diucapkannya dengan logat Inggris yang aneh. Meskpun begitu, penonton tetap terlihat antusias dan selalu memberikan applause tiap kali Bjork selesai menyanyikan lagu. Malam itu, entah penggemar setia Bjork atau bukan, memang jadi seperti ahli musik eksperimen yang ditawarkan cewek yang pernah datang ke Aceh ini. Semuanya sibuk bertepuk tangan setelah Bjork sukses menyanyikan lagu-lagu hitsnya dari album sebelumnya. Lighting Keren Pelit basa-basi bukan berarti minim atraksi. Selain atraksi tali, atraksi lighting adalah salah satu yang menambah nilai plus konser ini. Misalnya saja, saat menyanyikan Joga, di tengah lagu, perhatian penonton langsung terfokus pada permainan lagu berwarna laser hijau yang menyorot langsung ke arah depan panggung. Begitu juga saat menyanyikan Hyperballad dan Pluto, permainan lampu ini berhasil bikin penonton nggak tahan untuk memberikan applause. Seperti sudah hapal di luar kepala sama script tata lampunya, Bjork sukses melakukan gerakan mengangkat tangan sesuai dengan waktu lampu laser hijau menyala. Pokoknya, seperti melihat pertunjukan drama. Di lagu Desired Constellation, panggung meredup dan terlihatlah cahaya yang bersumber dari kening Bjork dan Wonder Brass. Rupanya mereka semua memakai semacam ikat kepala yang bisa menyala dalam setiap gelap alias glow in the dark. Ditambah lagi, aksi salah seorang personil bandnya. (Bjork menyebutnya sebagai music director) dengan alat terbarunya. Alat yang terlihat sangat digitalized ini bukan hanya bisa menghasilkan suara paling canggih di zaman ini, tapi juga jadi hiburan menarik dengan gambar semacam grafik dan aliran listrik yang bisa juga dilihat di big screen. Jelas banget kan , kalau aksi panggung penyanyi kelahiran 21 November 1965 ini benar benar dipersiapkan dengan matang.

Pakai Trik Lama Juga

Puas menyuguhkan berbagai atraksi dan menyanyikan nggak kurang dari 16 buah lagu, Bjork ternyata masih tertarik juga melakukan trik lama para musisi, yaitu melakukan encore; menghilang ke balik panggung, seolah olah konser sudah selesai. Tapi, penonton yang rupanya sudah hapal banget dengan trik tersebut, tetap diam di tempat dan berteriak teriak we want more berkali kali.

Bjork beserta Wonder Brass dan band nya yang berjumlah 15 orang akhirnya kembali ke atas panggung. “ Thank you, I’m sorry, I don’t speak your language and you don’t speak our either. Your country is beautiful. Thank you”, ucap Bjork yang akhirnya ngomong juga. Setelah itu, dia pun memperkenalkan band dan Wonder Brass-nya seusai perkenalan, Bjork kembali melantunkan dua buah lagu, yaitu Anchor Song dan Declare Independence .Di lagu terakhir ini, para personil Wonder Brass melepas bendera yang tadinya menempel di belakang tubuhnya dan mengacung-acungkan bendera tersebut saat Bjork melantunkan bait .” Raise your flag! Raise your flag!” Lagu yang diambil dari album terbarunya, Volta , menjadi lagu penutup konser malam itu. Kualitas vkal, performance dan atraksi yang tak terduga membuktikan kalau Bjork benar-benar penyanyi kualitas internasional. Spektakuler abis!.


Ada beberapa kekurangan data yang saya harus tambahakan

Nama instrumen elektronik yang dipakai MarK Bell sebagai music director adalah : The reacTable is an electro-acoustic music instrument with a tabletop Tangible User Interface that has been developed within the Music Technology Group at the Universitat Pompeu Fabra in Barcelona, Spain by Sergi Jordà, Marcos Alonso, Martin Kaltenbrunner and Günter Geiger ( wikipedia.org)


When Bjork did the encore then said “ Thank you, I’m sorry, I don’t speak your language and you don’t speak our either. Your country is beautiful. Thank you”

Seharusnya “ Thank you, I’m sorry, I don’t speak your language and you could speak our language. Your country is beautiful. Thank you”

Bjork berkata seperti itu karena seorang penonton wanita terus berteriak I Love you dalam bahasa Islandia dan sambil mengangkat kertas bertuliskan Ég elska Þig

Saya menangis!! Tepat di lagu Declare Independence . Saya tidak menyangka lagu yang videoklip nya dibuat oleh sutradara langganan Bjork, Stephen Gondry, membawa vibe yang begitu besar. Apa yang membuat Bjork bisa begitu bergairah menyanyikan lagu ini. Seperti terdapat sebuah kekhawatiran dan perhatian yang besar untuk tetap menjaga siapa kita sebenarnya, jangan pernah dijajah! Saat lagu ini juga, Tatis dkk mengeluarkan bendera Merah Putih. There’re the real Bjork fans. Saya hanya bisa menangis tersenyum melihat dan merasakan kejadian yang belum tentu saya dapatkan.

Seperti liriknya yang berkata :

Raise your flag! Declare independence! Don't let them do that to you! Declare independence! Don't let them do that to you! Damn colonists Ignore their patronizing Tear off their blindfolds Open their eyes

Controversy (wikipedia.org)

Björk has used live performances of "Declare Independence" to declare political support for various causes, often to some controversy. At two concerts in Toyko, Japan she showed her support for Kosovo's declaration of independence. This was negatively reported in the press in Serbia, resulting in the cancellation of her then upcoming performance at the 2008 Serbian EXIT Festival. Björk later released a statement through Icelandic newspaper Morgunblaðið, saying that "Maybe a Serb attended my concert [in Tokyo] and called home, and therefore the concert in Novi Sad was cancelled.

On March 3, 2008 the organiser behind the EXIT Festival released a press statement saying that Björk's cancellation from the festival was not because of her song dedication to Kosovo per se, but their inability to guarantee security for festivalgoers.[On March 4, 2008 Björk's management released a statement to NME stating that EXIT Festival were misleading in saying that Björk's support of Kosovo was not behind their concert cancellation, stating that they had emailed Björk's management saying that "We hope Björk does not relate to Kosovo on other concerts here in Europe, nor in her interviews, because if she does we need to cancel the concert".The statement also showed that EXIT Festival would only allow the concert to go ahead if Björk's management "denied that Björk has ever done this".

At a concert in Shanghai, China on March 2, 2008 Björk shouted "Tibet, Tibet!" three times followed by "Raise your flag!" during the finale performance of "Declare Independence". Björk's comments were not initially reported in the state-controlled media, but online sites such as Tianya fielded many negative comments on her statementThe story was subsequently picked up by international news wires.[27] There was reportedly no booing after her statement but there was an 'uneasy atmosphere' and fans left the venue quickly. A spokesperson for Emma Entertainment (the leading ticketing company in China) pleaded ignorance of Björk's actions and refused further comment.Sanctions are likely to be imposed on the organisers by the state censorship body, and it remains unlikely that Björk will be able to visit China again in the near future.A spokesperson for the Free Tibet Movement said the group was delighted by Björk's remarks, contrasting them with Gordon Brown and David Miliband's "shameful" decision not to raise the issue publicly on their recent visits to Beijing. Björk performed at the Tibetan Freedom Concert in 1996 and 1997. On March 4, 2008 Björk released an official statement on her website regarding the two incidents.The website is now blocked in China. Björk's dedicating of "Declare Independence" to the Faroe Islands caused some minor controversy in the country.During the Australian leg of her tour, as part of the 2008 Big Day Out, the song was dedicated to the Aboriginal People of Australia.

Takk fyrir

BZ

Senin, 03 Maret 2008

Malu Menutup Muka, atau Malu Menutup ?

Ketika Hollywood Paparazzi Darling terus berlatih untuk bisa tampil prima dimana pun dan kapan pun, tapi banyak yang tidak berhasil bagaimana menutupi kekurangan.

Sepertinya Artalyta Suryani harus belajar dari Amy Wino bagaimana menutupi kekuatan wajah terutama garis mata & alis







Reminiscing kejayaan alis ala KD di sinetron Abad 21 - Saat Memberi & Saat Menerima yang servicenya masih bisa didapat di gerai Pasar Baru Atom......pun pegawainya yang akan menawarkan dengan senyuman dan berkata:

"Tato Alis Ka atau Kaka mo nyobain Sulam Alis"

Ps : AS=perempuan tersangka penyuap Jaksa Urip Tri Gunawan yang merupakan kerabat dekat konglomerat Sjamsul Nursalim.
sumber : Antara

Preamble

Senin pagi setelah saya melihat berita gambar tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan di rumah nan aduhai milik Sjamsul Nursalim di jl.Hang Lekir, kemudian saya mendengarkan Indika FM. Devy Jo & Lelly Terong– host acaranya melemparkan sebuah pertanyaan yang kira kira seperti ini:


”Kalo orang bikin blog dan rajin update,
apa komentar lo?”
Komentar 1 : Orang yang gak ada kerjaan
Komentar 2 : Orang kreatif

Dari sekian banyak komentar pendengar, komentar 1 mendapat jumlah terbesar, meskipun itu hanya data statistik yang belum tentu reliable.
Alhasil, sebuah niat menulis blog saya dapat (cetek!!). Alasan utamanya, saya adalah orang yang gak ada kerjaan, meskipun saya punya pendapatan yang cukup jauh besarnya dibandingkan orang sibuk karena banyak kerjaan.

Sehat & Sukses Terus

BZ.